Kompas Jabar, Rabu, 15 Desember 2010 | 09:10 WIB
Ketika orang meributkan paten temulawak di Amerika Serikat, Oei Ban Liang telah memperjuangkannya sejak belasan tahun lalu melalui jalan sunyi, berliku, tanpa publikasi. Pada 9 Juni 1992, paduan kandungan temulawak dan kunyit (Rheumakur) telah mengantarkannya memperoleh paten sebagai obat rematik dan antiinflamasi dari Amerika Serikat.
Penghargaan Phyto Medica Award dari Yayasan Pengembangan Obat Bahan Alam Phyto Medica merupakan bukti kerja kerasnya selama bertahun-tahun dalam mengembangkan ”obat bahan alam” dari kunyit dan temulawak. Jika hambatan utama pengembangan obat bahan alam di Indonesia adalah ”bukti klinis”, Oei Ban Liang telah berhasil menembusnya. Walau tidak berlatar belakang medis, dari sini terlihat kemampuannya dalam bekerja sama dengan berbagai pihak.
Sebagai seorang profesor ilmu kimia organik di ITB, Oei Ban Liang telah membuktikan bahwa kegiatan ilmiahnya tidak hanya terbatas di lingkungan laboratorium dan kampus, tetapi melampaui pagar kampus, bahkan melanglang jagat. Lahir dari keluarga pedagang suku Tionghoa di Blitar, anak kedua dari pasangan Oei Kian Sioe (ayah) dan Go Tong Hwa (ibu) ini seakan keluar dari pakemnya.
Bukan sebagai pebisnis, melainkan ilmuwan. Pilihan ini disadarinya sejak remaja. Pendudukan Jepang pada 1942 telah mengandaskan sekolah dasarnya. Namun, dasar anak cerdas, sekolah menengah pertamanya hanya diselesaikan dalam waktu satu tahun. Ia kemudian masuk AMS di Malang yang semakin mematangkan kemampuan otodidaknya.
Selanjutnya pada 1951 ia masuk Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia yang berlokasi di Bandung (sekarang ITB). Mata kuliah utamanya adalah Kimia dan Biologi. Pada tahun kedua dia menjadi asisten Laboratorium Fisika. Minatnya yang besar dalam penelitian membuatnya memilih menjadi ”ahli riset farmasi”.
Walau mempunyai kesempatan satu tahun lagi untuk menjadi apoteker, hal itu tidak dilakoninya. ”Saya pilih riset farmasi karena senang jadi peneliti”, ujarnya suatu ketika. Dengan penelitian, kita melatih otak untuk memecahkan masalah. ”Bukan hanya itu, dengan menguasai metodologi, kita akan bisa memecahkan masalah apa saja”, ujarnya kepada Kompas (29 Juni 2000).
Apa yang diungkapkannya bukan wacana ilmiah pemanis bibir. Suatu ketika sebuah BUMN memiliki masalah karena bijih timah yang dikirim ke Jepang ditolak dengan alasan tidak memenuhi syarat sebagaimana diperjanjikan. Akhirnya, Oei Ban Liang diminta memecahkan masalah ini.
Dari analisisnya, ternyata justru pihak Jepang yang keliru dalam metodologi sampling sehingga hasilnya dianggap tidak memadai. Dengan teliti dan telaten, semua masalah digali dan akhirnya Jepang harus menerima bijih timah dari BUMN tersebut.
Walau lulus sebagai doktor kimia organik, Oei tidak menyukai ”sekat” ilmu. Baginya pembagian ilmu kimia sebagai organik, anorganik, kimia-fisik, dan seterusnya hanyalah untuk memudahkan pemahaman. Dalam aplikasinya, semua harus dipadukan, sementara klasifikasi tersebut adalah pisau analisis untuk bedah masalah.
Seorang mantan bimbingannya menceritakan bagaimana Pak Oei ”geregetan” ketika sejawatnya tidak setuju dengan gagasannya tentang bioteknologi yang merupakan paduan biologi dan kimia. Ketika diserahi tanggung jawab memimpin Pusat Antar Universitas (PAU) Bioteknologi di ITB, yang dilakukannya adalah ”produksi” SDM.
Lebih radikal lagi, beliau juga melibatkan banyak sarjana dari luar ITB. Mereka diterima magang dulu, baru kemudian diberi beasiswa untuk studi S-2 di ITB atau bahkan sandwich. Perguruan tinggi mitra di luar negeri juga cukup ragam sehingga terjadi diversitas. Dalam waktu tidak lama terbentuklah massa kritis (critical mass) bioteknologi.
Oei Ban Liang dikenal sebagai ”pabrik” doktor. Tidak kurang dari 40 orang doktor berhasil lulus sebagai buah tangannya. Sebanyak 29 orang dibimbing langsung (sebagai promotor) dan 11 orang tidak langsung (sebagai ko-promotor). Belum lagi yang difasilitasi, baik dari ITB maupun perguruan tinggi lain, tidak terhitung banyaknya.
Lewat PAU Bioteknologi ITB saja telah dihasilkan tidak kurang dari 25 orang doktor. Apalagi jika ditambah dengan mereka yang pernah mendapat ”sentuhan” tangannya, baik di tingkat S-2 maupun S-1, yang kemudian termotivasi menjadi doktor. Selain itu, lahir dan berkembangnya Pascasarjana ITB dan PAU Bioteknologi ITB serta berkembangnya unit-unit bidang ilmu dan kelompok-kelompok kegiatan di Jurusan Kimia ITB juga adalah hasil rintisannya.
Bahkan, kontribusinya di Badan Tenaga Nuklir Nasional Bandung pun tidaklah kecil, dari berdirinya hingga dalam meningkatkan mutu pola pikir SDM.
Penyulut semangat
Oei Ban Liang yang lahir dari kalangan pedagang ini memilih takdirnya sebagai ilmuwan-pendidik. Salah satu titik kekuatannya adalah pada penguasaan konsep, metodologi riset, dan integritas peneliti (tekun, ulet, jujur, cermat, dan bertanggung jawab). Meski banyak anak didiknya yang gemetaran jika berhadapan dengannya, Oei memiliki kehangatan dan humanitas sehingga mampu menyulut semangat anak didiknya.
Di akhir hayatnya, gangguan ginjal telah menggerogotinya hingga harus cuci darah (hemodialisis) tiga kali seminggu. Namun, hal ini tidak menyurutkan semangat keilmuannya. Beberapa doktor bimbingannya tetap dapat menjalani sidang promosi ketika Oei sudah duduk di kursi roda. Ketika pendengaran dan retinanya mulai terganggu, seluruh anak bimbingnya sudah berhasil menyelesaikan studinya sehingga tanggung jawab sang guru Oei sudah selesai.
Daya ingat dan ketajaman pikirnya tidak pernah surut meski dalam keadaan sakit. Terhadap setiap yang hadir mengunjunginya, beliau tidak pernah lupa, bahkan membahas kegiatan-kegiatan yang sedang digeluti sang tamu. Selama bertahun-tahun menjalani terapi dan hemodialisis, ia tidak pernah lupa pada tahapan terapi yang harus dilakoninya dan banyaknya jenis obat yang harus diminum.
Bila ada obat yang tertinggal saat minum obat, langsung ditanyakannya kepada istri tercinta, Ari Roediretna, seperti yang terjadi pada sehari sebelum wafatnya.
Jumat, 19 November 2010, merupakan hari terakhir cuci darah bagi pria kelahiran Blitar yang baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-80 ini (31 Agustus 2010). Pada pukul 21.25 Tuhan menetapkan Oei harus kembali ke haribaan-Nya. Tugasnya dalam membina anak-anak bangsa telah selesai. Selamat jalan ”pabrik” doktor. Karya dan produkmu (SDM) senantiasa bermanfaat bagi bangsa dan negara, bahkan dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar